Thursday, November 29, 2012

I Hate The Nigth Rain (PART I)


Teman taukah kalian, saat aku menulis ini aku ditemani suara music keempat terindah yang pernah aku dengar. yaitu suara hujan. malam ini, hujan turun seperti hari biasanya. Dan, ketika malam hujan – hujan yang lain, peristiwa itu pun terjadi. Sebentar aku dipanggil wanita cantik dibawah sana.
“Tata sayang, makan dulu.” mama meneriakiku menyuruhku turun ke bawah untuk makan. Setelah, smapai dibawah. Aku hanya duduk didepan meja makanku.
“Ayo sayang, makan dulu. mamah sudah menyiapkan gulai padang kesukaanmu.” Mama memberi sepiring gulai dan nasi porsiku dihadapanku. Aku hanya menggelengkan kepala. Tak mau. Selera makanku hilang semenjak ‘ia’ memutuskan meninggalkanku tadi pagi.
“Hei, kau Tata. Tidakkah kau makan? Kau nanti, pingsan! Ayolah makan, bak barang sesendok saja.” Kata lelaki itu merayuku, membujukku supaya cepat makan. Baiklah, aku makan. Aku menyuapkan sesendok nasi dengan gulai padang kesukaanku itu tidak berselera. Dari harumnya gulai itu enak sekali, namun dilidahku terasa hambar tidak berasa sama sekali. Mereka memperhatikanku gemas. Baiklah, aku mempercepat makanku dan setelah selesai menghabiskan gulai hambar ini (saat terasa dimulutku) aku bisa segera masuk ke kamar, dan terbebas dari omelan dua makhluk yang kusayang dihadapanku ini.
Untunglah, aku sedikit merasakan rasa pedas dari gulai itu, sehingga aku lebih berselera untuk memakannya. Aku bergegas masuk kamar. Tak memperdulikan panggilan dua makhluk dibawahku itu. Baru saja, aku terbaring lelah dikamarku. Aku sudah mendengar suara ribut – ribut di bawah. Huuuhhh. Aku bosan mendengar ‘ia’ tiap malam berteriak memaki – maki seisi rumah, termasuk pembantu dirumahku, yang tak tahu apa – apa. Aku berusaha menutup telingaku dengan bantal dan masuk kedalam selimut hangatku.
Astaga, suara ’nya’ semakin melengking. Hingga, aku mendengar benda terjatuh. Aku memutuskan untuk melihat seberapa parah perbuatan yang ditimbulkan ‘nya’ dalam beberapa detik. Aku keluar kamar dan menutup mulutku rapat – rapat. Benda yang terjatuh itu adalah foto keluarga terbesar yang ada dirumahku. Rasanya aku ingin berteriak sekencang – kencangnya menyuruh ‘nya’ pergi, kalau bisa secepatnya dari rumah ini. Sementara, hujan diluar semakin besar, petir dan gledeg menyambar disekitar rumahku. Aku merasakan, alam pun marah atas perlakuan ‘ia’ terhadap keluargaku.
“Baik! Baiklah aku akan menandatangani surat cerai itu! Kau mengerti?! Sekarang kau puas, hah?!!” teriak mama berang diirigi isak tangis kesedihannya, kemarahannya, kekesalannya, semua campur aduk menjadi satu. Semua, tergambar jelas di paras cantiknya. ‘lelaki’ itu melemparkan map berisi yang katanya surat cerai antara ‘ia’ dan mama.
“Hei, kau! Sopanlah sedikit pada istri kau! Aku bahkan tak sudi memanggil kau dengan sebutan PAPA!!” teriak kakak lelaiku yang paling besar. Aku ingin menangis mendengar kata – kata kakakku itu. Aku memang membenci papa. Tapi kakakku terlalu berlebihan. Bagaimanapun, kalau papa tidak ada kakakku tidak aka nada. Lagian, diantara semua anggota keluargaku, kakakku yang paling mirip dengan papa.
                PLAAAKKKK!!!
                Aku mendengar dan melihat adegan tadi secara jelas dengan kedua mataku sendiri. Astaga, apa yang dilakukan papa pada anak tersayangnya? Aku tak mengerti jalan pikiran papa semenjak papa marah pada malam saat kakakku ulang tahun, tepatnya saat malam hari dimana hujan angin terus mengguyur daerahku. Hari itu papa memergoki mama berselingkuh dengan lelaki tampan dan lebih muda dari papa, di cafĂ© tempat papa dan mama pertama kali bertemu.
                “Dasar! Kau anak tak tau diri! Sekarang juga, kau pergi dari rumahku!!” teriak papa malah menyuruh kakakku pergi dari rumah tempat kami berteduh dari panas, dan hujan beberapa bulan lalu. Tanpa kehadiran papa.

No comments:

Post a Comment