Teman taukah kalian, saat aku menulis ini aku ditemani suara music
keempat terindah yang pernah aku dengar. yaitu suara hujan. malam ini, hujan turun seperti hari
biasanya. Dan, ketika malam hujan – hujan yang lain, peristiwa itu pun terjadi.
Sebentar aku dipanggil wanita cantik dibawah sana.
“Tata sayang, makan dulu.” mama meneriakiku menyuruhku turun ke bawah
untuk makan. Setelah, smapai dibawah. Aku hanya duduk didepan meja makanku.
“Ayo sayang, makan dulu. mamah sudah menyiapkan gulai padang
kesukaanmu.” Mama memberi sepiring gulai dan nasi porsiku dihadapanku. Aku
hanya menggelengkan kepala. Tak mau. Selera makanku hilang semenjak ‘ia’
memutuskan meninggalkanku tadi pagi.
“Hei, kau Tata. Tidakkah kau makan? Kau nanti, pingsan! Ayolah makan,
bak barang sesendok saja.” Kata lelaki itu merayuku, membujukku supaya cepat
makan. Baiklah, aku makan. Aku menyuapkan sesendok nasi dengan gulai padang
kesukaanku itu tidak berselera. Dari harumnya gulai itu enak sekali, namun
dilidahku terasa hambar tidak berasa sama sekali. Mereka memperhatikanku gemas.
Baiklah, aku mempercepat makanku dan setelah selesai menghabiskan gulai hambar
ini (saat terasa dimulutku) aku bisa segera masuk ke kamar, dan terbebas dari
omelan dua makhluk yang kusayang dihadapanku ini.
Untunglah, aku sedikit merasakan rasa pedas dari gulai itu, sehingga
aku lebih berselera untuk memakannya. Aku bergegas masuk kamar. Tak
memperdulikan panggilan dua makhluk dibawahku itu. Baru saja, aku terbaring
lelah dikamarku. Aku sudah mendengar suara ribut – ribut di bawah. Huuuhhh. Aku
bosan mendengar ‘ia’ tiap malam berteriak memaki – maki seisi rumah, termasuk
pembantu dirumahku, yang tak tahu apa – apa. Aku berusaha menutup telingaku
dengan bantal dan masuk kedalam selimut hangatku.
Astaga, suara ’nya’ semakin melengking. Hingga, aku mendengar benda
terjatuh. Aku memutuskan untuk melihat seberapa parah perbuatan yang
ditimbulkan ‘nya’ dalam beberapa detik. Aku keluar kamar dan menutup mulutku
rapat – rapat. Benda yang terjatuh itu adalah foto keluarga terbesar yang ada
dirumahku. Rasanya aku ingin berteriak sekencang – kencangnya menyuruh ‘nya’
pergi, kalau bisa secepatnya dari rumah ini. Sementara, hujan diluar semakin
besar, petir dan gledeg menyambar disekitar rumahku. Aku merasakan, alam pun
marah atas perlakuan ‘ia’ terhadap keluargaku.
“Baik! Baiklah aku akan menandatangani surat cerai itu! Kau mengerti?!
Sekarang kau puas, hah?!!” teriak mama berang diirigi isak tangis kesedihannya,
kemarahannya, kekesalannya, semua campur aduk menjadi satu. Semua, tergambar
jelas di paras cantiknya. ‘lelaki’ itu melemparkan map berisi yang katanya
surat cerai antara ‘ia’ dan mama.
“Hei, kau! Sopanlah sedikit pada istri kau! Aku bahkan tak sudi
memanggil kau dengan sebutan PAPA!!” teriak kakak lelaiku yang paling besar.
Aku ingin menangis mendengar kata – kata kakakku itu. Aku memang membenci papa.
Tapi kakakku terlalu berlebihan. Bagaimanapun, kalau papa tidak ada kakakku
tidak aka nada. Lagian, diantara semua anggota keluargaku, kakakku yang paling
mirip dengan papa.
PLAAAKKKK!!!
Aku mendengar dan melihat adegan
tadi secara jelas dengan kedua mataku sendiri. Astaga, apa yang dilakukan papa
pada anak tersayangnya? Aku tak mengerti jalan pikiran papa semenjak papa marah
pada malam saat kakakku ulang tahun, tepatnya saat malam hari dimana hujan angin
terus mengguyur daerahku. Hari itu papa memergoki mama berselingkuh dengan
lelaki tampan dan lebih muda dari papa, di café tempat papa dan mama pertama
kali bertemu.
“Dasar! Kau anak tak tau diri!
Sekarang juga, kau pergi dari rumahku!!” teriak papa malah menyuruh kakakku
pergi dari rumah tempat kami berteduh dari panas, dan hujan beberapa bulan
lalu. Tanpa kehadiran papa.