Tuesday, December 4, 2012

I Hate The Nigth Rain (PART II)


Kakakku terdiam. Aku tak menyangka kalau seorang papa yang selama ini menjadi idola anaknya sendiri, tega mengusirnya. Kakakku kemudian masuk, kedalam kamarnya. Tidak lama setelah itu, ia keluar dengan sebuah ransel besar di punggungnya. Dan membawa koper besar, yang entah apa isinya aku tak tahu. “Kalau aku pergi dari rumah ni. Tata dan Mama ikut aku!” kemudian ia memanggil ku turun kebawah.
                Kali ini, papa yang terdiam. Ia berpikir cukup lama. “Baiklah! Silahkan bawa dua dedemit kau itu! Aku tak membutuhkan mereka dirumah ini, aku pun tak peduli pada mereka! Cihh!!” hatiku sakit mendengarnya. Ternyata sia – sia mama mengurusku 16 tahun terakhir ini. Mama menangis terisak – isak. Aku tidak kuat melihat perlakuan papa pada kami. Aku mengahmpiri papa.
                “Pah! Kita pun nggak butuh Papa!! Papa yang harusnya keluar dari rumah ini! ada gaada papa, rumah ini sama aja! Kita udah terbiasa tanpa kehadiran papa beberapa bulan ini! jadi, papa nggak pulang pun aku bersyukur. Papa pulang, rumah ini kayak neraka buat aku!” kata ku geram dan ingin papa segera pergi dari rumah ini.
                Tiba – tiba terdengar suara sirine mobil polisi di daerah rumah kami. Seketika, raut muka papa menegang. Aku pun tak mengerti, kenapa papa tiba – tiba mendadak pucat. Tak lama dari itu, aku mendengar pintu depan rumahku digedor tak sabar. Sebelum, aku berjalan menuju pintu, hendak membukanya. Pintu dibuka dari luar, didepan rumah kami sekarang berjejer sekitar lima orang lelaki bertubuh tambun, berseragam coklat, berbagai pangkat di bajunya, dan memegang senjata tajam-pistol.
                “Jangan bergerak! Pak Hermawan, anda kami tahan. Atas tindakan kasus penggelapan dana proyek yang sedang anda kontrak, senilai Rp. 850.000.000,-” kata salah satu polisi itu menghampiri papa dan menyiapkan borgol yang sudah ada ditangannya sekarang.
“A..Apaa maksud anda? Dana apa? Saya bahkan, tidak pernah mengontrak proyek apapun! Anda pasti salah orang!! Lepaskan!!” kata papa mengelak. Melihatku, kakakku, dan mama secara bergantian memohon bantuan. “Tidak bisa Pak! Ayo, sekarang Bapak ikut kami ke kantor! Jika memang bukan Bapak, kami hanya ingin meminta keterangan pada Bapak!” kata polisi itu menarik paksa lengan papa. “Maaa, bantuu papa mahhh!! Reka bantu papa sayanggg!! Maafkan papa!! Tata tolong papa!! Usir mereka dari rumah kita ini!!” mama melihatnya cemas, kak Reka bahkan tak peduli, ia terlanjur sakit hati. Aku pun tak bisa melakukan apa – apa. Ku hanya bocah yang masih dibawah umur.
                “Tunggu Pak, saya ingin berbicara sesuatu pada suami saya.” Kata mama lembut. Polisi itu mengangguk, “Tapi hanya 30 menit!” mama mengiyakan.
“Pah, sebenernya mama tau kasus ini sejak awal, tapi mama nggak ngasih tau papa. Karena, mama nggak mau papa stress. Mama berusaha cari jalan keluar. Dan, mama menemukan salah satu pengacara muda hebat yang pintar, ia selalu menang dalam menangani kasus. Kasus berat sekalipun. Kebetulan, pengacara muda itu sedang berada di café favorit kita. Dan mama mengajaknya berbicara tentang kasus papa. Dan ia menyetujui. Ia mau membantu kasus papa tanpa dipungut biaya apapun, dengan alasan ia ingin berterimakasih pada papa yang telah membuat nya menjadi seperti ini. mama, kemudian ingat pada salah satu sahabat yang pernah papa ceritakan. Tareka. Namanya, ada pada kedua anak kita. Dan saat itu, mama meminta papa datang ke café favorit kita untuk bernostalgia dengan sahabat lama papa. Mama melihat papa, berlari tergesa – gesa kehujanan hanya dengan alas jaket kulit papa. Tapi, saat itu papa, terbakar api cemburu saat mama sedang berbincang – bincang tentang papa di masa muda. Mama, tidak pernah selingkuh pa. saat itu, mama bahagia. Karena, Tareka menceritakan dari dulu, papa selalu dan selalu dan akan selalu mencintai mama. Mama tersenyum mendengar Tareka menceritakan itu. Maafkan, mama karena tidak pernah menceritakan ini pada papa. Sejak hari itu, mama ingin menjelaskan pada papa. Namun, papa selalu menuduh mama selingkuh dengan Tareka.” Mama menunduk, berlinang air mata, menyudahi ceritanya. Pipi papa basah dengan air matanya. Entah, air mata buaya, atau memang hatinya menyesal.
“Cukup Bu. Waktunya habis. Kami akan memeriksa suami anda.” Kata polisi itu mengakhiri cerita mama. “Tunggu Pak! Saya ingin mengucapkan kata – kata terakhir untuk keluarga saya. Mah, maafkan papa. Karena, papa tidak pernah mau mendengar penjelasan papa tentang peristiwa di café itu. Sungguh, papa sungguh menyesal. Reka, maafkan papa sayang. Papa minta tolong, supaya kamu menjaga adik dan mama kamu selama papa dipenjara. Dan Tata, kamu benar sayang. Ada tidak nya papa memang sudah tidak berpengaruh lagi dirumah kalian. Maafkan papa, lindungi mama dan kakakmu sayang.” Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami bertiga. Papa pun dibawa oleh kelima polisi itu. Aku bisa melihat papa sangat menyesal.
Setelah, mobil polisi yang membawa papa itu menerobos dinginnya hujan di malam hari ini, mama berlari keluar rumah. Berteriak histeris, meminta supaya papa kembali. Mama sudah memaafkannya sepenuhnya. Mama berlari menerobos hujan yang menusuk – nusuk kulit. Aku dan Kak Reka berlari mengejar mama, mencegah mama, melindungi mama. Mama berlari hingga ke keluar perumahan kami, berlari melewati jalan yang tadi dilewati oleh mobil yang membawa papa. Mama, terdiam, berdiri ditengah jalan, kehabisan nafas, capai, dan tersengal, karena tak berhasil mengejar mobil polisi itu. Aku dan Kak Reka pun mulai berjalan cepat (sudah tidak berlari) mulai tenang karena mama sudah mulai mereda emosinya. Tapi, tiba – tiba diujung perempatan sana, beberapa meter dari tempat mama berdiri, lampu menyilaukan menyorotkan cahaya kuning diterpa hujan itu semakin dekat, dan mama tak sempat berlari. Mama, hanya termenung menatap cahaya itu. Mama kira, cahaya itu, cahaya mobil polisi yang membawa papa kembali. Aku kaget, melihat mobil itu berjarak kurang dari satu meter dengan mama. Aku berlari. Namun, terlambat. Tubuh mama sudah terbujur kaku ditengah jalan, digenangi oleh aliran darah dan hujan yang dengan cepat menjadi satu. Aku berlari secepat mungkin, untuk menyelamatkan mama. Kak Reka yang baru menyadari apa yang terjadi dengan mama, seger berlari menyusulku.
“Maaaammaaaaaa……………….!!!!!!!!!!!!!!” Teriakku histeris, mengguncang – guncang tubug mama yang sudah banyak mengeluarkan banyak darah. “Mammaaaaahhh jangan tinggalin kita mah!!” aku memeluk mama seerat mungkin. Tak mau kehilanagn mama. Kak Reka menghampiriku, mendekatkan tangannya dihidung mama. Dan tak ada lagi hembusan nafas yang dirasakan tangan Kak Reka. Mendadak, sekujur tubuh mama dingin, sedingin hujan malam ini.